Kamis, 06 Oktober 2011

Filsafat Sebagai Sikap Demitologisasi (Peniadaan Mitos)


Menurut Danesi kata mitos berasal dari bahasa Yunani mythos, yang berarti "kata", "ujaran", "kisah tentang dewa-dewa". Sebuah mitos adalah narasi yang karakter-karakter utamanya adalah para dewa, para pahlawan, dan makhluk mitos, plotnya berputar di sekitar asal-muasal benda-benda atau di sekitar makna benda-benda, dan setting-nya adalah dunia metafisika yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos berfungsi sebagai teori asli mengenai dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan kisah-kisah semacam itu untuk menjelaskan asal-usul mereka.[1]
Istilah Mitologi telah dipakai sejak abad 15, dan berati “ilmu yang menjelaskan tentang mitos”. Di masa sekarang, Mitologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan Dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan. Menurut pakarnya, Mitos tidak boleh disamakan dengan fabel, legenda1, cerita rakyat, , dongeng,2 anekdot
atau kisah fiks.i Mitos dan agama juga berbeda, namun meliputi beberapa aspek.

Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimanakah filsafat itu tercipta? Hal apa yang menyebabkan manusia berfilsafat? Pada dasarnya ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat, yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.
Sebelum lahirnya filsafat, kehidupan manusia dikuasai dan diatur oleh berbagai macam mitos dan mistis. Berbagai macam mitos dan mistis tersebut berupaya menjelaskan tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam alam semesta, yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sayangnya, ternyata penjelasan penjelasan yang berasal dari mitos dan mistis tersebut makin lama makin tidak memuaskan manusia.
Ketidakpuasan itu pada nantinya mendorong manusia untuk terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih meyakinkan bagi dirinya, dan yang lebih akurat. Ketakjuban manusia telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, dan ketidakpuasan manusia membuat pertanyaan-pertanyaan itu tidak kunjung habisnya.  Dengan bekal hasrat bertanya maka kehidupan manusia serta pengetahuan semakin berkembang dan maju. Hasrat bertanyalah yang mendorong manusia untuk melakukan pengamatan, penelitian, serta penyelidikan. Ketiga hal tersebut yang menghasilkan pelbagai penemuan baru yang semakin memperkaya manusia dengan pengetahuan baru yang terus bertambah.
Manusia sendiri ketika mempertanyakan segala sesuatu dengan maksud untuk memperoleh kejelasan dan keterangan mengenai hal yang dipertanyakan tersebut, itu berarti dia sedang mengalami keraguan. Keraguan ini dilandasi bahwa sesuatu yang dipertanyakan tersebut belum terang dan belum jelas. Karena itu manusia perlu dan harus bertanya. Manusia bertanya karena masih meragukan kejelasan dan kebenaran dari apa yang telah diketahuinya.
Mitologisasi yang "dipelihara" bisa berdampak pada pola berpikir; dan pola berpikir mempengaruhi pola berperilaku. Kaidah (ciri-ciri) berpikir berdasarkan mitos Karena punya akal dan pikiran, manusia menuntut penjelasan (kausalitas dsb.) atas berbagai fenomena yang ditemuinya. Sebelum paham bahwa hujan turun karena kondensasi dan sebagai salah satu tahapan dalam siklus air, mendapati air tumpah dari langit manusia menyebut bahwa dewa di atas sana tengah bersedih lalu menangis. Sebelum paham bahwa matahari, bumi, dan bulan sesekali berada dalam posisi yang khas, sehingga cahaya matahari tidak sampai menerangi bulan karena terhalang bumi, manusia menganggap ada raksasa mencoba memakan bulan saat terjadi gerhana.
Kedua hal tersebut, yaitu imajinasi tentang dewa menangis dan raksasa hendak memakan bulan, merupakan contoh mitologisasi, penciptaan mitos; sebuah konkretitasi yang tidak disandarkan pada pola berpikir rasional, pengalaman empirik, penelitian ilmiah, karenanya menjadi konkretisasi yang keliru. Alih-alih mendekati realitas, mitos menjauh dari realitas.
Karena punya akal dan pikiran, manusia menuntut penjelasan (kausalitas dsb.) atas berbagai fenomena yang ditemuinya. Karena punya akal dan pikiran, manusia membedakan mitos dan realitas. Pun karena punya akal dan pikiran, manusia mampu menciptakan dan hidup di dalam mitos, tetapi konsekuensinya mereka yang hidup dalam mitos tak akan bisa menangani realitas.



[1] Http.// thinker-asratisme.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar